July 02, 2010

The Power of The Poors

Semalam saya menyaksikan sebuah film dokumenter yang ditayangkan di TvOne. Film ini menceritakan tentang perjuangan rakyat Bangladesh untuk keluar dari jerat kemiskinan yang telah membelenggu mereka sejak puluhan tahun yang lalu. Seperti diketahui bersama, Bangladesh merupakan salah satu dari negara termiskin di dunia. Namun, akhir-akhir ini, perekonomian di negara ini mulai menggeliat dengan digulirkannya program kredit mikro bagi rakyat-rakyat miskin baik di kota maupun di pedesaan. Program inipun yang kemudian membawa tokohnya, yaitu Muhammad Yunus, untuk menerima hadiah Nobel di bidang perdamaian.
Geliat kegiatan ekonomi di kota Dhaka, ibukota Bangladesh, digambarkan jelas dalam dokumenter berdurasi sekitar 1 jam tersebut. Gedung-gedung tinggi yang berfungsi sebagai perkantoran dan pabrik mulai banyak dibangun. Kesibukan warga kota Dhaka di tiap pagi pun digambarkan dalam film tersebut, bagaimana mereka berpacu dengan waktu untuk tidak terlambat datang ke tempat kerja. Selain itu, ada pula kegiatan pabrik-pabrik garmen berskala kecil yang ternyata dapat menjadi tulang punggung perekonomian di negara tersebut.
Sebenarnya, yang menjadi pusat perhatian dari film tersebut adalah dua hal. Yang pertama adalah semangat rakyat-rakyat miskin di Bangladesh untuk terlepas dari belenggu kemiskinan. Mereka yang berasal dari pedesaan datang berbondong-bondong ke kota Dhaka untuk mencari pekerjaan karena mereka tidak memiliki tanah di desa tempat mereka berasal. Mereka datang ke kota dengan membawa apapun yang mereka punya di desa dan untuk bekerja apa saja di kota. Ada yang menjadi penjual es krim, buruh di pabrik garmen, pedagang barang kebutuhan sehari-hari, dan pekerjaan-pekerjaan lainnya. Di antara mereka ada yang tidak puas dengan keadaan mereka sekarang berusaha untuk mengembangkan usaha mereka. Untuk mengembangkan usaha diperlukan modal, dan untuk mendapatkan modal dari bank disyaratkan adanya agunan untuk jaminan pengembalian dana. Namun, apa daya, kebanyakan dari orang-orang tersebut tidak memiliki barang untuk diagunkan sehingga pupuslah sudah harapan mereka untuk mendapatkan pinjaman dana dari bank. Salah satu dari mereka adalah seorang wanita berusia 22 tahun (saya lupa namanya) yang memiliki usaha berjualan sembako, seperti minyak goreng, sabun, makanan, dan barang-barang lain. Pada awalnya, usaha wanita itu bersama suaminya cukup lancar, tetapi ketika sang suami menderita sakit, uang hasil usahanya tersebut habis untuk berobat. Dan sekarang, tokonya pun sepi pembeli akibat sedikitnya barang yang bisa dijual. Untuk mengisi tokonya kembali, diperlukan modal yang tidak sedikit, yaitu sekitar 180 dolar, dan dia tidak bisa mendapatkan pinjaman dari bank karena tidak memiliki jaminan.
Sebenarnya, semangat rakyat Bangladesh sangatlah tinggi untuk bekerja, hal ini karena di sana ada ungkapan bahwa jika kamu hidup di Dhaka, tidak ada yang akan menolongmu, jadi berusahalah sendiri. Namun sayang, semangat yang tinggi ini terkendala oleh masalah permodalan. Dan gayung pun bersambut dengan didirikannya sebuah NGO/LSM yang bernama BARC yang didirikan oleh mantan dirut perusahaan besar di Bangladesh (saya juga lupa namanya). LSM ini mendirikan sebuah bank yang memusatkan usahanya untuk memberikan pinjaman dana bagi orang miskin. Model pinjaman dana ini menurut saya termasuk revolusioner karena tidak memerlukan barang untuk diagunkan, tetapi mereka yang ingin meminjam dana harus memiliki orang lain yang bisa memberikan jaminan, yaitu ketika si peminjam dana tidak bisa memenuhi angsuran pengembalian, maka si penjamin inilah yang akan membantu mengangsurnya. Selain itu, bunga pinjamannya pun jauh lebih kecil dibanding bunga bank pada umumnya. Model pinjaman seperti ini yang menjadi pusat perhatian kedua dalam dokumenter ini.
Semangat rakyat miskin Bangladesh dan model kegiatan pinjaman modal ala BARC inilah yang menjadi kekuatan Bangladesh untuk terlepas dari kungkungan kemiskinan yang menjerat mereka selama puluhan tahun dan inilah yang saya sebut The Power of The Poors. Seandainya hal ini terus dikembangkan, saya yakin Bangladesh akan terus mengalami kemajuan dan bukannya tidak mungkin, beberapa tahun lagi negara kita akan tertinggal dari Bangladesh. Oleh karena itu, tidak ada salahnya kalau negara ini meniru model pengentasan kemiskinan yang dilakukan di Bangladesh ini.

1 comment:

  1. Itulah sebabnya saya ingin jadi orang kaya dit. Ntar kalo penghasilan kita udah dalam itungan ratusan juta ato bahkah M per bulan, saya juga kepikiran hal yang sama. Memberikan modal usaha untuk mereka yang benar-benar ingin maju dengan bunga = IRR. Bisa juga dengan sistem bagi hasil. Gimana dit? Tertarik untuk bergabung?

    ReplyDelete