Kritik ini merupakan hasil dari apa yang aku rasakan selama ini, dan juga dari perkataan seorang dosen mengenai pengajaran di jurusanku. Ada dua kritik yang ingin saya sampaikan.
Kritik 1: Mahasiswa kurang didorong/disuasanakan untuk berpikir analitis-konseptual, tetapi lebih kepada pola berpikir intuitif-prosedural
Yang dimaksud berpikir analitis di sini adalah pola berpikir yang benar-benar mensyaratkan adanya hubungan-hubungan yang logis(dapat dijelaskan dengan teori-teori) dari tiap pengertian yang sedang dipelajari. Misal, ketika sedang mempelajari persamaan material balance, seorang mahasiswa seharusnya benar-benar memahami, darimana parameter-parameter yang muncul dalam persamaan tersebut berasal, dan apa arti fisik dari tiap parameter fisik tersebut. Juga ketika memahami persamaan aliran transien, mahasiswa harus mengerti mengapa solusi exponential integral (EI solution) dari persamaan difusivitas bisa digantikan dengan logaritma natural, dan masih banyak hal lain. Dan pola berpikir analitis yang baik dan sangat kental terdapat di matematika, ketika seseorang memahami pembuktian suatu teorema, juga mengenai penurunan rumus. Di situ, seseorang dituntut untuk bisa membuktikan keabsahan suatu pernyataan/hubungan yang dibuat. Oleh karena itu, saya berpendapat, mendalami matematika dapat membuat kemampuan berpikir analitis seseorang menjadi lebih baik.
Sedangkan berpikir konseptual, artinya seseorang harus benar-benar memahami secara holistik (menyeluruh) tentang apa yang sedang dia pelajari. Saya contohkan dengan suatu contoh klasik, yaitu deskripsi suatu gajah. Orang yang tidak memahami konsep akan menganggap gajah itu seperti ular, atau seperti tiang, seperti kipas, dll. Namun, orang yang mengutamakan konsep, akan bisa mendeskripsikan dengan baik, seperti apa gajah itu, juga sangat berkeinginan mengetahui kedudukan gajah dalam sistem klasifikasi, makanan gajah, kebiasaan gajah, dll. Atau ketika seseorang mempelajari tentang well testing. Orang yang mengutamakan konsep tentu akan mempelajari terlebih dahulu, apa itu well testing, apa fungsinya, data apa yang diperoleh, bagaimana keabsahan data tersebut, dll. Juga dia akan sangat mengutamakan konsep yang mendasari aplikasi well testing tersebut, tidak ujug-ujug langsung "plug-in number" ke dalam rumus Pressure Build Up tanpa memahami apa sebenarnya yang sedang dia lakukan.
Kebalikan dari pola berpikir analitis-konseptual adalah pola berpikir intuitif-prosedural. Yang dimaksud intuitif adalah memahami suatu hal dengan intuisi, pengertian sehari-hari, pengertian umum, analogi, dsb. Jadi tidak menggunakan suatu analisis yang mendalam. Pemahaman secara intuitif memang bagus untuk pengertian awal. Namun, ketika seseorang ingin memahami dengan lebih mendalam, tentu tidak boleh didasarkan pada intuisi semata, tapi harus benar-benar menggunakan pengertian yang didasarkan pada literatur, yang telah disepakati bersama oleh orang-orang yang berkecimpung di bidang tersebut. Hal ini karena pemahaman dengan intuisi kadang-kadang susah (atau bahkan tidak bisa) dihubungkan dengan pemahaman dari bidang lain. Cukup susah untuk memahami kalimat di atas. Mungkin untuk lebih jelasnya perlu saya beri contoh:
Ketika seseorang ingin memahami suatu fenomena penyumbatan (bottlenecking) pada suatu segmen pipa akibat digabungnya aliran fluida dari dua segmen pipa. Pemahaman intuitif akan mengatakan kalau bottlenecking ini terjadi akibat dua fluida itu berebut untuk masuk ke pipa. Dari pemahaman ini selanjutnya muncul intuisi lain, yaitu aliran yang terjadi di dalam pipa sebagian besar berasal dari aliran dengan laju yang lebih besar, dan aliran ini menghalangi aliran fluida dari pipa dengan laju alir lebih kecil. Dari sinilah fenomena bottlenecking terjadi. Pemahaman ini tentu saja bisa diterima, dan masuk akal, tetapi ketika akan dihubungkan dengan konsep lain, pemahaman ini akan menjadi sangat tidak masuk akal (dan hal ini pernah saya alami saat KP). Agar semua menjadi bisa dihubungkan dan masuk akal, tentu pemahaman mengenai bottlenecking harus dikembalikan ke akarnya, yaitu "Fluid Flow in Pipe", yang merupakan persamaan matematik. Dengan ini, maka pemahaman mengenai bottlenecking menjadi jelas, gamblang, dan menenangkan semua pihak.
Sedangkan yang dimaksud dengan prosedural adalah mengikuti suatu prosedur. Lalu apa yang salah dengan mengikuti prosedur? Bukankah mengikuti prosedur artinya patuh terhadap aturan? Betul. Yang salah adalah mengikuti prosedur secara membabi buta tanpa mau tahu mengapa dalam prosedur tersebut ada hal begini, mengapa habis ini begitu, yang ini berasal dari mana, mengapa dari situ bisa keluar ini, dan lain sebagainya. Akibat dari mengikuti prosedur secara membabi buta ini, ketika suatu permasalahan tidak bisa diselesaikan dengan prosedur tersebut, seorang prosedural-ers akan menjadi sangat kebingungan. Begitu juga ketika dia ditanya, dari mana suatu pernyataan itu berasal.
Dan nyata-nyata, suasana intuitif-prosedural benar-benar saya rasakan di jurusan saya, antara lain dengan soal ujian yang bisa "diramalkan" (wkwkwkwk), dan diperparah dengan adanya buku panduan mengerjakan soal ujian dengan "baik dan benar" (master-red). Tentu saja suasana seperti ini baik-baik saja bagi orang yang menjadikan kuliah ini sebagai batu pijakan untuk bekerja di perusahan bonafide dengan gaji besar (yang untuk masuk ke situ harus dengan IP 3.5 ke atas). Namun, bagi mereka yang menjadikan kuliah ini sebagai tempat untuk menggali ilmu, dan selalu haus dengan ilmu, hal ini tentu saja bencana. Ilmu yang didapat menjadi cetek, otak menjadi tumpul (karena jarang melakukan analisis), dan hati ini tidak puas. Hal ini, saya tidak tahu disengaja atau tidak, ternyata disuasanakan oleh beberapa dosen. Saya tentu saja tidak menyalahkan dosen, karena mereka tentu saja beralasan baik untuk melakukan itu, misal dengan alasan agar standar nilai itu bisa dibandingkan dari tahun ke tahun, maka tipe soal ujian dari tahun ke tahun mirip, dan masih banyak lagi hal lainnya. Tapi tidak bisa dipungkiri, hal ini memberi peluang bagi mereka-mereka yang haus A (bukan haus ilmu) untuk memenuhi hasratnya dengan cara yang tidak ilmiah-analitis-konseptual. Meskipun demikian, tidak semua dosen di jurusanku berpola seperti ini. Ada juga dosen yang tetap mengutamakan konsep dan "memaksa" mahasiswanya untuk berpikir analitis dalam memahami suatu permasalahan. Saya tentu saja sangat mengapresiasi sang dosen tersebut (sehingga saya menjadikannya sebagai dosbing TA), tetapi sayang, mereka-mereka yang haus A ini tetap saja tidak bisa memahami maksud baik sang dosen ini.
Ini adalah kritik saya yang pertama.
Kritik 2: Materi kuliah yang diberikan terlalu luas
Di jurusanku, hampir semua bidang ilmu yang berkaitan dengan jurusanku diajarkan (hampir semuanya). Bahkan kata seorang dosen, ada beberapa bidang ilmu yang di luar negeri biasa diajarkan untuk mahasiswa pascasarjana, telah diajarkan di tahap sarjana di jurusanku. Akibat banyaknya materi yang diajarkan ini, pengajaran dari tiap bidang ini menjadi tidak mendalam, tidak dipelajari hingga ke akar-akarnya (misal ketika mempelajari tentang well testing, tidak benar-benar didalami tentang penggunaan transformasi Laplace-nya, pokoknya tahu jadi saja). Sekali lagi, saya tidak menyalahkan jurusan. Mungkin paradigma jurusan dalam menyelenggarakan pendidikan adalah untuk menghasilkan yang insinyur yang serba guna, siap dipakai dalam bidang apa saja. Jadi reservoir engineer OK, jadi drilling engineer jago, jadi production engineer mantap, jadi interpreter well logging maknyuss. Dan tentunya jurusan ini tidak bermaksud/mengutamakan lulusannya menjadi research scientist, consultant, dosen, atau pekerjaan-pekerjaan lain yang membutuhkan keahlian untuk melakukan first class analysis. Yah saya pun maklum, lha wong yang sedang diajar juga baru calon sarjana, jadi mungkin gak usah benar-benar mendalam. Atau saya berprasangka baik saja, mungkin alasan para dosen memberikan materi yang tidak mendalam adalah untuk mendorong para mahasiswa agar belajar sendiri secara otodidak. Ya sudahlah, saya akan belajar secara otodidak mengenai konsep-konsep yang mendalam mengenai suatu bidang yang ada di jurusanku.
Itulah kritik, atau lebih tepat disebut curhat saya tentang apa yang saya rasakan setelah kuliah selama 3 tahun di jurusanku. Rasanya, hati ini lebih tenteram waktu TPB....
No comments:
Post a Comment